Dulu, saya pernah bercita-cita menjadi seorang guru matematika. Tujuan saya sederhana, saya hanya ingin memperkenalkan matematika sebagai ilmu yang seru dan menyenangkan. Namun, seiring bertambahnya usia, saya akhirnya menemukan cita-cita baru. Terpaksa, tujuan saya yang satu itu harus saya pendam dalam-dalam. Tapi, siapa sangka, saya bisa mewujudkan mimpi saya meski hanya sebentar dengan bergabung sebagai pengajar numerasi dalam Osis Mengajar tahun 2024 yang diadakan oleh SMAN 1 Magetan.
Sabtu, 20 Januari 2024, merupakan hari pelaksanaan Osis Mengajar sekaligus hari yang tidak akan pernah saya lupakan. Saya berangkat untuk mengajar adik-adik di SDN Puntukdoro 4 yang berlokasikan di Desa Puntukdoro, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan. Sampai di sana saya dibuat takjub akan keindahan pemandangan alamnya. Awan berarak seolah berjalan. Hamparan sayur hijau menyapu setiap pandang. Udara pagi terasa dingin dan segar. Bukan hanya pemandangan, saya juga dibuat takjub dengan kondisi sekolah di sana. Meski tergolong terpencil, namun kebersihan, kerapian, serta kesopanan siswa-siswi sangat diperhatikan. Begitu tiba, kami langsung disambut dengan hangat dan bersahabat
Kelas pertama yang saya masuki adalah kelas 6. Tidak seperti kelas kebanyakan, kelas 6 di sana hanya beranggotakan 3 orang dan semuanya perempuan. Lucu sekali, saya menemukan berbagai karakter berbeda pada ketiganya. Ada adik Bintang yang pemberani dan pintar, adik Ida yang diam-diam pintar tapi bertingkah seolah malas-malasan, dan adik Tesa yang pemalu dan pendiam.
Mungkin memang karena tingkat berpikir kelas 6 yang sudah matang, mereka dapat dengan mudah mencerna penjelasan mengenai satuan panjang yang saya berikan. Mereka bahkan sudah paham dan sudah mencoba mengerjakan soal. Jadi bagi saya, tidak ada hambatan dalam mengajar kelas 6, hanya saja saya merasa kelasnya terlalu hening untuk saya yang suka keramaian hehehe. Kelas kedua yang saya ajar adalah kelas 1. Wah, di sini merupakan kelas yang paling berkesan bagi saya. Karena masuk kelas 1, saya langsung banting stir dari pengajar numerasi menjadi pengajar kelas menggambar. Karena basic anak-anak kelas 1 yang masih suka bermain dan berlarian di dalam kelas, saya hampir kehabisan ide untuk mengajar mereka. Untungnya, saya masih ingat pernah belajar menggambar menggunakan angka, yaa meskipun harus saya akui, bakat seni dalam diri saya hanya menyentuh angka 10% alias saya tidak berbakat menggambar sama sekali. Alhamdulillah adik-adik kelas 1 tetap antusias saat diajak menggambar. Mereka bisa duduk dengan tenang, fokus pada pensil dan kertas masing-masing.

Saking antusiasnya adik-adik kelas 1 mulai request bermacam-macam gambar. Mulai dari gambar macan, singa, hingga harimau. Saya hanya bisa tersenyum lebar sembari menangis dalam hati karena bingung bagaimana mewujudkan keinginan mereka. Beruntung pada akhirnya saya bisa menawar dengan membuatkan gambar kucing, masalah pun selesai. Kelas saya akhiri dengan menyanyikan lagu “Sayonara” bersama-sama.
Bisa dibilang kelas paling hectic yang saya ajar adalah kelas 1. Tapi entah kenapa saya justru senang sempat bertemu dan mengajar mereka. Bahkan setelah dari kelas, senyum saya tak berhenti terulas, rasanya seolah energi saya terisi penuh kembali sehingga merasa ringan untuk lanjut mengajar pada kelas berikutnya. Kelas selanjutnya yang saya ajar adalah kelas 5. Saya sempat terkejut ketika melihat anggota kelas hanya 4 orang, itupun terdiri dari 3 laki-laki dan hanya 1 perempuan. Awal masuk saya dibuat terharu oleh inisiatif seorang siswa yang segera menghapus papan tulis begitu saya datang. Respon mereka pun sopan dan antusias ketika saya membuka kelas.
Berbeda dengan kelas 6 yang saya ajarkan materi atau kelas 1 yang berubah menjadi kelas seni, di kelas 5 ini saya mengajak adik-adik untuk bermain sebuah game. Nama gamenya adalah “Meraih Bintang” dimana tugas mereka adalah secepat mungkin meraih bintang dari kertas yang berjarak 7 lantai dari tempat mereka berdiri. Namun peraturannya adalah untuk maju 1 lantai mereka harus menjawab pertanyaan hitungan dengan benar terlebih dahulu. Jika benar maka boleh maju, jika salah maka harus mundur 1 langkah.
Awalnya saya takut jika adik-adik justru merasa terbebani dengan game ini. Ternyata dugaan saya salah, mereka justru senang dan menikmati menjawab pertanyaan yang saya sediakan. Hingga kemudian, tiba giliran adik yang menghapus papan tulis saat saya datang untuk mengambil gulungan soal, teman-temannya segera memberitahu saya fakta yang membuat saya terhenyak sejenak.
“Kak, khusus teman kami yang ini belum bisa baca dan berhitung. Dia baru hafal angka 1-10,” ucap salah satu dari mereka.
Saya sampai menelan ludah gugup, soal yang saya buat untuk kelas 5 sudah saya sesuaikan dengan materi, tidak lucu jika ada seorang yang tidak bisa bermain karena keterbatasan kemampuan berhitung. Beruntung, saya masih punya gulungan soal berisi penjumlahan 1-10 yang sengaja saya buat untuk kelas 1. Akhirnya permainan bisa terus berlanjut.
Di kelas 5 ini, saya belajar arti persahabatan yang tulus. Bagaimana tidak, ingat adik yang belum bisa baca dan berhitung? Nah, ketiga temannya dengan antusias membantunya untuk menjawab pertanyaan yang diambil, padahal seharusnya mereka bersaing agar menang, namun mereka enggan. Mereka membantunya, mengajarkan dan mempraktikkan bagaimana cara menghitung yang benar, meringankan tugas saya dengan sukarela. Sungguh, hati saya menghangat. Di dunia penuh persaingan seperti sekarang ini, mereka berempat justru saling membantu yang membutuhkan. Benar-benar membuat diri saya tertampar. Kelas saya akhiri dengan ice breaking dan sedikit motivasi agar mereka tidak takut untuk belajar matematika. Tak lupa saya ucapkan terima kasih atas keaktifan mereka, sekaligus secara tersirat saya berterimakasih atas ilmu persahabatan yang tanpa sengaja mereka ajarkan.

Kelas terakhir yang saya ajar adalah kelas 3. Duh, saya sempat ragu saat memasuki kelas ini. Bagaimana tidak, sudah jam terakhir, siang-siang, jam pelajaran hitungan pula! Tapi Alhamdulillah keraguan saya tidak terbukti. Adik-adik kelas 3 justru aktif dan antusias dengan pelajaran hitungan. Mereka bisa menyelesaikan game yang sama seperti di kelas 5 bahkan dengan waktu relatif singkat. Sisa waktu mengajar yang masih banyak saya gunakan untuk sharing cerita dan mengenal mereka lebih jauh. Mereka aktif bertanya, tentang SMA, tentang OSIS, tentang organisasi, dan lain sebagainya. Saya beserta mentor dari OSIS menjawab dengan sama antusiasnya. Akhirnya, kelas saya akhiri dengan nge-dance bareng dan kalimat motivasi agar tidak takut belajar matematika seperti sebelum-sebelumnya.
Awalnya daftar sebagai pengajar dalam Osis Mengajar hanyalah tindakan impulsif saya yang saat itu bingung menghabiskan waktu liburan. Hingga kemudian saya sadar, ternyata tindakan impulsif saya kemarin adalah tindakan yang paling saya syukuri. Karena dengan bergabung dalam Osime saya jadi belajar banyak hal.
Untuk itu saya ingin berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada seluruh pihak yang sudah tergabung dalam Osime. Terima kasih untuk bapak/ibu pembina yang sudah mempercayakan kelas numerasi kepada saya serta membantu banyak pada proses briefing akbar. Terima kasih pada segenap panitia yang telah mempersiapkan dan membantu saya ketika mengajar. Dan tentunya terima kasih banyak kepada adik-adik SDN Puntukdoro 4 yang telah mengajarkan saya arti sabar, arti persahabatan, arti bersyukur, arti pantang menyerah, dan banyak hal lainnya. Terima kasih sekali, pengalaman ini tidak akan pernah bisa saya lupakan seumur hidup saya. Dan kenangan bersama kalian akan menjadi kenangan paling manis di bulan Januari tahun ini. Sukses selalu untuk adik-adik SDN Puntukdoro 4. Kakak yakin kalian bisa terbang tinggi bagai pesawat yang waktu itu kita terbangkan. Kakak yakin kalian mampu menggapai apa yang kalian cita-citakan. Aamiin
- Umi Fadhilatul Mulikha / Kelas XI.10
- Pengajar Kelas Numerasi
- OSIS Mengajar Angkatan 1
- SDN Puntukdoro 4, Kec. Plaosan, Magetan